Website Staf Akademik Universitas Gadjah Mada
 

Ngobrol Dengan Ibu Endang Sih Prapti

June 5th, 2009 Posted in Uncategorized

Banyak mahasiswa menanyakan pendapat saya tentang polemik “NEO-LIB vs EKONOMI KERAKYATAN”. Ini saya anggap logis, pertama karena polemik ini sedang hangat diperbincangkan, kedua karena mereka menganggap saya orang yang paling tahu tentang materi yang diperdebatkan. Yah—saya kan dosen economic thought dan American Studies. Nah daripada harus menjawab satu-persatu, inilah pendapat saya tentang polemik tersebut.
Bagi bangsa Indonesia, ternyata, polemik ini lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya, Paling tidak, polemik ini telah menghasilkan kepedulian bangsa Indonesia terhadap pilihan sistem ekonominya.
Sistem ekonomi muncul karena adanya dua aspek  besar yang melandasi kegiatan ekonomi manusia, yaitu aspek kebebasan individu dan aspek keterkaitan sosial. Kedua aspek ini sama pentingnya dalam kehidupan (ekonomi) manusia.
Agama Islam mengajarkannya dalam bentuk perintah Allah SWT pada umatnya, yaitu habluminallah (yang menjadi dasar kebebasan individu) dan habluminannas (yang menjadi dasar dalam menjalin hubungan manusia dengan sesamanya). Ibn Khaldun, di abad ke 14, dalam Muqaddimah, menterjemahkannya dalam dua  kalimat: (1) Man is the center of the universe, manusia adalah pusat alam semesta, dan (2) But man cannot achieve his welfare without the help of his physical environment, tetapi manusia tidak dapat mencapai kesejahteraannya tanpa bantuan lingkungan fisiknya. Butir pertama menjadi dasar kebebasan individu, dan butir kedua menjadi dasar keterkaitan sosial. Kunci keberhasilan penerapan sistem ekonomi Ibn Khaldun terletak pada kemampuan membentuk unit ekonomi yang kecil yang disebutnya  “physical environment“. Contoh keberhasilan penerapan pemikiran Ibn Khaldun dapat dilihat pada masyarakat Yahudi dan masyarakat China. Masyarakat Yahudi, berhasil membentuk “physical environment” dalam bentuk kelompok masyarakat kecil di bawah pimpinan seorang Rabbi. (catatan: Muqaddimah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris oleh ilmuwan Yahudi, Dr. Rosenthal). Sedangkan budaya masyarakat China memiliki “physical environment” dalam bentuk keluarga. Kuatnya peranan keluarga dalam masyarakat China sangat terkenal. (catatan: apakah pemikiran Ibn Khaldun dipengaruhi oleh hal ini? Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China?). Memanfaatkan hal ini, pemerintah China menerapkannya dalam unit “kecamatan”. Sebetulnya, di Indonesia, di jaman Bung Karno, unit kecil kegiatan ekonomi “physical environment” juga telah pernah diterapkan melalui pemberdayaan RT dan RW. Sebagai contoh adalah pembagian tekstil pampasan perang dari Jepang dilakukan melalui RT dan RW.
Adam Smith, di abad ke 18,  menyarankan hanya fokus pada  aspek kebebasan individu. Intervensi pemerintah disingkirkan, laissez faire. Pada jamannya, hal ini wajar dan alamiah, karena pemikiran Adam Smith merupakan protes terhadap pemikiran ekonomi sebelumnya, sistem merkantilisme, sebuah sistem ekonomi komando yang sangat eksploitatif terhadap buruh dan petani (catatan: pemikiran Adam Smith ikut andil menyebabkan Revolusi Perancis, 1789). Sistem ekonomi Adam smith selanjutnya dikenal sebagai sistem ekonomi pasar, sistem ekonomi kapitalisme, atau sistem ekonomi liberalisme Dalam pelaksanaannya, meskipun Adam Smith menjanjikan “semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi akan diuntungkan atau win-win solution“, ketimpangan, tidak dapat dihindari, karena keuntungan yang diterima tidak sama bahkan seringkali jauh berbeda. Tak pelak lagi, system ekonomi Adam Smith sering dianggap (utamanya oleh Karl Marx) memperkaya pemilik modal dan menyengsarakan buruh. Meskipun, Adam Smith berdalih, bahwa tidak ada yang menghalangi buruh untuk menjadi kapitalis kaya, dengan alasan pemikiran yang sama dengan Karl Marx, yaitu “labor is embodied capital”, tenaga kerja adalah.modal yang melekat pada tubuh manusia, siapapun, jika mau mempekerjakan tenaga kerja yang melekat pada dirinya, bisa menjadi kapitalis kaya.
Karl Marx, di abad ke 19, sebagai reaksi terhadap ketimpangan yang dihasilkan oleh sistem ekonomi Adam Smith, menyarankan untuk fokus pada keterkaitan sosial. Jika Adam Smith menyarankan sistem ekonomi “self reliance” (menyandarkan pada diri sendiri), Karl Marx menyarankan “commune reliance” (menyandarkan pada kebersamaan). Pemikiran ekonomi Karl Marx selanjutnya dikenal sebagai pemikiran ekonomi sosialisme.  Setelah Karl Marx, banyak negara menterjemahkan pemikirannya secara ekstrim menjadi sistem ekonomi komunisme atau dikenal juga sebagai sistem ekonomi komando, dimana kegiatan ekonomi sepenuhnya diatur dan dikuasai oleh negara.
Pada 29 Oktober 1929 terjadi the Great Depression, yang meruntuhkan sistem ekonomi kapitalisme/liberalisme.  Atas jasa John Maynard Keynes (JMK) dan Franklin Delano Roosevelt (FDR), negara-negara pemakai sistem ekonomi kapitalisme/liberalisme tidak perlu menggantinya dengan sistem ekonomi ekstrim seberangnya, yaitu sosialisme atau komunisme, seperti yang pada saat itu sangat dikhawatirkan. JMK dan FDR mengundang intervensi pemerintah dalam perekonomian tetapi tetap menjaga kebebasan individu dan kebebasan pasar. Mereka menyebutnya sistem ekonomi campuran (mixed economic system). Dalam sistem ini intervensi pemerintah difokuskan menjadi “the first pump” (pionir pemecah masalah), dan tugas-tugas pemerintah disusun dalam “government’s job description”, sehingga jelas mana yang boleh atau tidak boleh diintervensi oleh pemerintah (baca Capitalism and Freedom oleh Milton Friedman, 1982). Sistem ini juga dikenal dengan sebutan capitalism non-laissez faire atau sering disebut sistem ekonomi neo-liberalisme.
Pasca Perang Dunia ke 2, melalui Bretton Woods Conference, negara-negara sekutu AS memilih AS menjadi pemimpin. Rusia, yang juga ikut mengalahkan Jerman/Hitler tidak mau mengakui kepemimpinan AS, lalu memisahkan diri membentuk Uni Sovyet. Seiring dengan itu, sistem ekonomi dunia terpecah menjadi dua, Kutub Barat yang menggunakan sistem capitalism non-laissez faire dan Kutub Timur yang menggunakan sistem ekonomi komando. Pada abad ke 20, sistem ekonomi komando juga runtuh bersamaan dengan runtuhnya Uni Sovyet. Negara-negara penganut sistem ekonomi komando mulai menyadari arti penting kebebasan individu dan kebebasan pasar; merekapun mulai memasuki ranah ekonomi campuran, yaitu sosialisme yang membolehkan kebebasan individu/pasar. Dengan demikian, sekarang ini sistem ekonomi ekstrim sudah tidak ada lagi. Sistem ekonomi yang ada adalah sistem ekonomi campuran.
Karakter dari sebuah sistem campuran ditentukan oleh kadar campurannya sehingg sangat ditentukan oleh pencampurnya, atau dikenal dengan istilah “the singer, not the song”.
NKRI yang lahir pada 17 Agustus 1945 harus menghadapi dunia internasional yang sudah menjadi ajang perebutan pengaruh antara Kutub Barat dan Kutub Timur. Hal ini diperburuk lagi, karena sebagai negara yang baru merdeka dari penjajahan dan dalam keadaan miskin akibat penjajahan,  Indonesia harus menghadapi pilihan yang berat dalam menentukan sikapnya di dunia internasional, yaitu pilihan antara TUMMY (stomach, perut)  dan PRIDE (dignity, kedaulatan, nasionalisme).
Presiden pertama, Sukarno, memilih PRIDE, mengutamakan kedaulatan RI dan nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan berani Sukarno melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia. Dan, untuk bertahan terhadap tarikan pengaruh kedua kutub, Sukarno menetapkan Pancasila sebagai dasar negara, yang diyakininya akan dapat menempatkan Indonesia berada tepat di tengah antara faham ideologi Barat dan Timur. Di samping itu, untuk memapankan posisi tengahnya, Sukano ikut memprakarsai kerjasama negara berkembang melalui Konperensi AA, Conefo, Ganefo, dan akhirnya GNB (Gerakan Non Blok) yang bertahan sampai sekarang. Ucapan “Go To Hell With Your Aids” nya sangat terkenal, menolak segala bantuan bersyarat yang berresiko Indonesia kehilangan harga diri. Di bawah Sukarno, kedaulatan Indonesia menjadi kebanggaan bangsa dan kekaguman dunia. . Namun demikian, seiring dengan itu Indonesia dilanda kemiskinan. Dan Sukarno harus turun dengan tragis.
Presiden kedua, Suharto, sebaliknya, memilih TUMMY . Perusahaan asing yang dinasionalisasi Sukarno dikembalikan kepada pemiliknya oleh Suharto dengan imbalan gelontoran dana bantuan dan utang luar negeri (baca: The Debt Trap oleh Cheryl Payer,1974).  Namun demikian, seiring dengan itu merosot pula harga diri bangsa. Indonesia dikenal sebagai negara dengan predikat: pengutang terbesar, korupsi terbesar, ketimpangan terbesar, karena dari sebuah negara miskin banyak oknum-oknum peraih gelar orang-orang terkaya di dunia. Pada akhirnya, Indonesia kembali terpuruk miskin begitu mudah disapu oleh Krisis Ekonomi 1997, karena kekuatan ekonomi hasil utang dan bantuan adalah semu. Dan Suharto pun harus turun dengan tragis.
Belajar dari dua pengalaman di atas, maka siapapun yang (akan) menjadi presiden Indonesia perlu mewaspadai adanya hambatan berupa pilihan sulit antara TUMMY dan PRIDE tersebut. Tidak hanya Indonesia, banyak negara lain juga memerlukan kehati-hatian dalam memilih. Beberapa contoh adalah Jepang, Irak, Singapura, Libya, dan Uni Eropa.
Dengan uraian di atas, maka apakah polemik Neo-Lib vs Ekonomi kerakyatan masih relevan? Bukankah keduanya sama-sama sistem ekonomi campuran; sistem ekonomi Neo-Lib bukan kapitalisme/liberalisme ekstrim, sistem Ekonomi Kerakyatan bukan komunisme. Keduanya  sama-sama memilih rakyat sebagai stakeholder (catatan: pada saat FDR akan menerapkan sistem ekonomi capitalism non-laissez faire terlebih dulu dia mendeklarasikan rakyat AS adalah buruh dan petani). Jika perbedaan antara keduanya dicari-cari, maka letaknya pada proporsi campuran antara kebebasan pasar dan intervensi pemerintah. Apakah pada Neo-Lib proporsi kebebasannya  lebih besar dan pada Ekonomi Kerakyatan proporsi intervensi pemerintahnya yang lebih besar? Apakah jika proporsi kebebasannya lebih besar berarti lebih baik, ataukah sebaliknya, lebih baik jika intervensi pemerintahnya yang lebih besar? Lebih baik bagi siapa? Tentunya bagi rakyat, bukan? Nah, siapakah rakyat Indonesia? Kalau FDR berani berkata bahwa rakyat AS adalah buruh dan petani tentunya karena didasarkan pada wawasan AS yang continental. Sudah adakah pemimpin Indonesia yang mendeklarasikan rakyat Indonesia berdasarkan wawasan Indonesia yang archipelago? Hampir semua pemimpin (dan calon pemimpin) Indonesia (kecuali Sukarno) masih menggunakan wawasan continental warisan Belanda yang misleading. Nah, daripada berpolemik yang tidak ada hasilnya, wahai para pemimpin dan calon pemimpin bangsa, bukalah peta Indonesia, kenalilah archipelago Indonesia (negara archipelago terbesar di dunia), sehingga siapa rakyat Indonesia dapat dideklarasikan dengan benar, karena untuk merekalah sistem ekonomi yang tepat dirumuskan. Insya Allah akhirnya kita akan menyadari bahwa bahwa sistem Neo-Lib hanya cocok bagi bangsa AS, sistem ekonomi kerakyatan mengundang banyak interpretasi karena ketidakjelasannya. Yang tepat bagi bangsa Indonesia adalah EKONOMI PANCASILA BERWAWASAN ARCHIPELAGO. Sebagai penutup, saya definisikan Ekonomi Pancasila:

  1. Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang bersendikan sila-sila Pancasila (definisi Mubyarto)
  2. Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi Ibn Khaldun yang menjunjung tinggi habluminallah (sila 1 Pancasila) dan habluminannas (sila 2-5 Pancasila), yang berkarakter bangsa dan negara Republik Indonesia yang berwawasan archipelago (definisi Endang Sih Prapti)

Demikianlah obrolan berbagi ilmu dari saya. Saya nantikan komentar pembaca. Dan, apabila diminati, obrolan selanjutnya adalah topik ”Neo-Liberalisme dan Washington Consensus”, dan ”Garis Besar Penataan Ekonomi Indonesia Berdasarkan EKONOMI PANCASILA BERWAWASAN ARCHIPELAGO”.
Sampai jumpa.

  1. 2 Trackback(s)

  2. Dec 4, 2013: Charlie
  3. Dec 15, 2013: Craig

Post a Comment